SELAMAT DATANG DI BLOG MARTHA PUSPITA RIMA PUTRI ^_^ BLOG BERBAGI INFORMASI SEPUTAR ILMU PENGETAHUAN DAN DUNIA PENDIDIKAN :)

Friday, 2 January 2015

Teori Belajar John Dewey



DAFTAR ISI





BAB I   

PENDAHULUAN


A.  LATAR BELAKANG

Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.
Belajar merupakan suatu usaha sadar yang bertujuan untuk merubah sikap seseorang. Mengingat gaya belajar siswa yang berbeda-beda sehingga banyak tokoh-tokoh pendidik yang membahas mengenai teori-teori pembelajaran, seperti teori belajar Jean Peaget, teori belajar Gestalt dan masih banyak lagi.
John Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif akan membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada di lingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada.

B.  RUMUSAN MASALAH

1.        Apa konsep dasar pemikiran pendidikan John Dewey?
2.        Bagaimana konsep belajar dan teori pembelajaran kognitif John Dewey?
3.        Bagaimana tahapan perkembangan moral peserta didik?
4.        Apa metode pengajaran John Dewey?
5.        Bagaimana aplikasi teori kognitif John Dewey?

C.  TUJUAN PENULISAN

1.      Untuk mengetahui konsep dasar pemikiran pendidikan John Dewey.
2.      Untuk mengetahui konsep belajar dan teori pembelajaran kognitif John Dewey.
3.      Untu mengetahui tahapan perkembangan moral peserta didik.
4.      Untuk mengetahui metode pengajaran John Dewey.
5.      Untuk mengetahui aplikasi teori kognitif John Dewey.


BAB II

PEMBAHASAN


         A. Biografi John Dewey

John Dewey adalah seorang filsuf, teoritikus, dan reformator pendidikan, serta kritikus sosial yang sangat memengaruhi masyarakat Amerika Serikat di awal dan pertengahan abad XX. Bersama Charles Sanders Peirce dan William James, ia menjadi jurubicara utama filsafat khas Amerika, Pragmatisme, dan ia adalah pemimpin gerakan pendidikan progresif.
John Dewey lahir 20 Oktober 1859 di Burlington, Vermont. Ia anak ketiga dari empat bersaudara buah hati pasangan Artchibald Dewey dan Lucina Rich. Setelah menyelesaikan pendidikan persiapan di sekolah negeri Burlington, ia masuk ke Universitas Vermont pada tahun 1875, tetapi baru pada tahun keempat ia menemukan minat khusus intelektualnya. Pada tahun 1882, ia mengikuti program pasca sarjana di Universitas John Hopkins yang pada waktu itu baru didirikan.
Pada tahun 1886 Dewey menikahi mantan muridnya, Harriet Chipman, dan mereka dikaruniai enam orang anak. Istrinya sangat berminat pada pandidikan dan masalah-masalah social, dan hal ini memengaruhi Dewey.
Dewey mengawali karya besarnya dalam teori dan praktik pendidikan di Universitas Chicago, saat ia menjabat kepala departemen filsafat, psikologi, dan pedagogi pada tahun 1894. Saat di Chicago inilah Dewey menjadi terkenal dalam dunia pendidikan.
Pada tahun 1904, karena pertentangannya dengan rector mengenai pengelolaan dan pembiayaan departemen pendidikan, Dewey meninggalkan Chicago dan menjadi professor filsafat di Universitas Culumbia, New York.
Istri Dewey meninggal dunia setelah 41 tahun pernikahan mereka dan selama 19 tahun berikutnya Dewey tinggal berpindah-pindah dari satu anak ke anak yang lain. Lalu pada usia 87 Dewey menikah lagi dengan Roberta Lowitz Grant, yang berusia 42 tahun. Tak lama setelah menikah mereka mengadopsi dua anak Belgia yang menjadi yatim-piatu akibat perang.
Dewey dikaruniai kesehatan yang baik sampai ia berusia 80 tahun. Pada November 1951 tulang pinggulnya patah dan gagal disambung kembali dengan baik. Pada 1 Juni 1952, Dewey meninggal akibat pneumonia.[1]

         B. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan John Dewey

Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experiencee), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi (transaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi, pendidikan kering akan arahan inteligensi. Democracy and Education, Dewey, 1961 dalam (Dewi Purnawati, 2011) mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun secara intelegensia terhadap pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan pengalaman. Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran di atas dapat diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam transaksi yakni dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun berbagai bentuk organisme lain.[2]
Garis besar pemikiran pendidikan yang selalu dikaitkan dengan Dewey dan telah banyak memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan perlu digarisbawahi di sini. Menurut Garforth, 1966 dalam (Yusrin Orbyt 2012) terdapat tiga pengaruh pemikiran Dewey dalam pendidikan yang dirasakan sangat kuat hingga saat ini. Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan, di sini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Kedua, Dewey memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak (child-centredness). Bahwa konsep pendidikan adalah berpusat pada anak, telah sejak lama dilontarkan, bahkan oleh Aristoteles. Dalam hal ini Dewey mendasarkan konsep keberpusatan pada anak pada landasan-landasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Ketiga, Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan kerangka teoritik dan berbasis eksperimen.[3]

         C. Konsep Belajar dan Teori Pembelajaran Kognitif John Dewey

Sugihartono dkk, 2007: 105 mengetakan bahwa setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya serta pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif (Just Weare Noegayya, 2012). Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif tersebut akan bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya, 2012) proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa proses belajar harus dilakukan secara terus-menerus agar  berjalan dengan baik. proses belajar yang berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat bagi siswa seperti siswa akan lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga masalah yang dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien.
Teori pembelajaran kognitif dapat dibagi menjadi dua aliran yakni teori gestalt dan konstruktivistik. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya, 2012) dalam kutipannya menjelaskan konsep penting dalam psikologi gestalt adalah insight yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Pengamatan atau pemahaman yang secara mendadak tersebut sering diartikan sebagai ide atau gagasan yang secara tidak sengaja muncul di dalam memori kita. Meskipun mendadak pengamatan atau pemahaman tersebut didapat terlebih dahulu melalui proses berpikir. Hal semacam ini bersifat insidental.
Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya, 2012) menjelaskan perbedaan antara teori gestalt dengan konstruktivistik terletak pada permasalahan yakni pada gestalt permasalahan yang dimunculkan berasal dari pancingan eksternal sedangkan pada konstruktivistik permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan yang direkonstruksi oleh siswa sendiri. Penjelasan dari teori konstruktivistik tersebut adalah permasalahan yang muncul dari dalam diri siswa itu sendiri atau dapat dikatakan sebagai faktor internal. Faktor internal tersebut yang akhirnya memunculkan suatu permasalahan. Teori konstruktivistik dipelopori oleh seorang psikolog asal Amerika Serikat yakni John Dewey.
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya 2012). Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman dan minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktif dan mampu mencari pemecahan masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal.
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (Dwi Siswoyo dkk, 2011 dalam Just Weare Noegayya, 2012), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki. Selain itu dari teori kognitif yang menegaskan pengalaman sebagai landasan pembelajaran juga sangat relevan.[4]

         D. Tahapan Perkembangan Moral Peserta Didik

John Dewey tidak hanya mengembangkan teori konstruktivistik yang terangkum dalam teori kognitif tetapi juga mengembangkan teori perkembangan moral peserta didik. John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous (Dwi Siswoyo dkk, 2011 dalam Just Wear Enoegayya, 2012). Selanjutnya John Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011 dalam Just Wear Enoegayya, 2012) menjelaskan beberapa tahapan yang dikemukakan, yaitu:
1.  Tahap premoral. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau 
     sosial.
2.  Tahap convention. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan
     kepada kriteria kelompoknya.
3.  Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan
  akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.[5]
Teori perkembangan moral peserta didik sangat berhubungan dengan teori pembelajaran kognitif. Hal ini dapat dilihat dalam teori perkembangan moral peserta didik, seseorang mengalami beberapa tahap dalam bertingkah laku di lingkungan sosial atau kelompoknya dan hal ini akan membawa pengalaman dan memberi pengetahuan pada siswa tersebut. Teori kognitif  pada dasarnya membahas faktor-faktor kognisi yang berhubungan dengan jiwa atau kondisi psikologi seseorang. Definisi dari kognisi yaitu suatu proses atau upaya manusia dalam mengenal berbagai macam stimulus atau informasi yang masuk ke dalam alat inderanya, menyimpan, menghubung-hubungkan, menganalisis, dan memecahkan suatu masalah berdasar stimulus atau informasi tersebut. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012).
Pengertian tersebut mengandung arti bahwa gejala kognisi sering dikaitkan dengan proses belajar seseorang yang didapat dari pengamatan termasuk pengalaman dan melalui alat indera hingga pada akhirnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012) menjelaskan yang termasuk gejala pengenalan adalah penginderaan dan persepsi, asosiasi, memori, berpikir, dan intelegensi. Salah satu faktor-faktor kognitif yang paling berpengaruh terhadap proses pembelajaran seseorang adalah berpikir.
Salah satu bentuk berpikir adalah reasoning. Reasoning adalah bentuk berpikir di mana kemungkinan-kemungkinan pemecahan ditimbang-timbang secara simbolis. Dimyati, 1990 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012). Menurut John Dewey, Reasoning itu adalah serangkaian langkah yang berurutan dan langkah-langkah itu antara lain (Dimyati, 1990 dalam Just Wear Enoegayya, 2012):
1. Maladjusment. Orang yang dimotovir menghadapi suatu rintangan (menghadapi problem).
2. Diagnosis. Orang itu melokalisir sumber problimnya dan mempertimbangkan strukturnya.
    Langkah ini menyangkut kemampuan analisis untuk mengabstraksi dan membentuk konsep.
3. Hipotesis. Orang itu membuat satu atau lebih dugaan. Langkah ini menyangkut imajinasi
     kreatif.
4. Deduksi. Orang itu berusaha menentukan bahwa dugaannya itu akan benar. Langkah ini
     menyangkut logika dan pengalaman.
5.  Verifikasi. Orang itu mengecek langkah keempat dengan fakta-fakta yang ada. Langkah ini 
     menyangkut sampling dan eksperimen.



         E. Metode Pengajaran John Dewey

Menurut John Dewey dalam (Anwar Holil, 2008) metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah.
1.        Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
2.        Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalah
           yang dihadapinya.
3.        Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan
           mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak 
           ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
4.        Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-
           masing.
5.        Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang 
       dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemuka pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup.[6]
Namun langkah-langkah ini tidak dipandang secara kaku dan mekanistis, artinya tidak mutlak harus mengikuti urutan seperti itu. Siswa bisa bergerak bolak-balik, antara masalah dan hipotesis ke arah pembuktian, ke arah kesimpulan dalam batas-batas aturan yang bervariasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan instruksional ini mirip dengan suatu penelitian ilmiah di mana suatu hipotesis dapat diuji dan dirumuskan. Selanjutnya Dewey menganjurkan agar bentuk isi pelajaran hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran. Dengan demikian jelas betapa pentingnya makna bekerja, karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman memimpin orang berpikir sehingga dapat bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman itu mempengaruhi budi pekerti. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman yang positf adalah pengalaman yang benar, sebab faedahnya dapat diterapkan di dalam kehidupan. Sebaliknya, pengalaman negatif adalah pengalaman yang salah, merugikan atau menghambat kehidupan dan tak perlu dipakai lagi.

         F. Aplikasi Teori Kognitif Jon Dewey Pada Pembelajaran Siswa

Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat. Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa.
Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012) menjelaskan misi dari pemerolehan pengetahuan melalui strategi pembelajaran kognitif adalah kemampuan memperoleh, menganalisis, dan mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah. Dalam hal ini siswa dituntut untuk menjalani proses pembelajaran yang bersifat intensif agar siswa memiliki kemampuan untuk memperoleh informasi hingga memperoleh kemampuan memecahkan masalah. Berdasarkan pandangan kognitif tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan proses aktif dari pembelajar untuk membangun pengetahuannya (Sugihartono dkk, 2007 dalam Just Wear Enoegayya, 2012).
Teori kognitif merupakan landasan pokok bagi pembelajaran siswa karena teori ini mengutamakan kemampuan siswa secara verbal. Tujuan pendidikan menurut teori belajar kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007 dalam Just Wear Enoegayya, 2012):
1.        Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan
           setiap persoalan yang dihadapi.
2.        Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
           pengetahuan dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan 
           memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis
           masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3.        Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
          dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi 
          kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah pada kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau menyampaikan materi pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa menjadi lebih berkembang sehingga kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa tersebut menjadi lebih baik. Salah satu metode pembelajaran kognitif yang paling tepat untuk diaplikasikan pada pembelajaran siswa adalah model CBSA atau cara belajar siswa aktif. Cara ini dianggap paling efektiv untuk pengembangan kognisi siswa.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler 1996:20 mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran (Sugiharto dkk, 2007 dalam Just Wear Enoegayya, 2012), sebagai berikut:
1.        Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
2.        Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi 
           lebih kreatif dan imajinatif
3.        Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru
4.        Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
5.        Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
6.        Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Beberapa contoh untuk pembelajaran kognitif antara lain pembelajaran melalui penelitian ilmiah dan hasil penelitian tersebut didiskusikan di dalam forum diskusi. Manfaat lain dari kegiatan diskusi ilmiah tersebut adalah melatih siswa berpikir objekif yang secara tidak langsung berhubungan dengan gejala kognitif.


 

BAB III

PENUTUP


          A. Kesimpulan

1.        Tiga pengaruh pemikiran Dewey dalam pendidikan yang dirasakan sangat kuat hingga saat ini. Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan. Kedua, Dewey memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak (child-centredness). Ketiga, Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas.
2.        John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain.
3.        John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous.
4.        Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada pembelajaran kognitif.





DAFTAR PUSTAKA


Holil, Anwar. (2008). Metode Pengajaran John Dewey. Tersedia di laman http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/metode-pengajaran-john-dewey.html. Di akses pada tanggal 27 September 2014.
Noergayya, Just Wear. (2012). Teori Belajar John Dewey. Tersedia di laman http://justwearenoegayya.blogspot.com/2012/05/teori-pembelajaran-john-dewey.html. Di akses pada tanggal 27 September 2014.
Orbyt, Yusrin. (2012). Teori Belajar John Dewey. Tersedia di laman http://yusrin-orbyt.blogspot.com/2012/06/teori-belajar-john-dewey.html. Di akses pada tanggal 6 Oktober 2014.
Potoh, Ireine. V. 2009. Pendidikan Dasar Berbasis Pengalaman. 2009.
Purnawati, Dewi. (2011). Teori Belajar John Dewey.Tersedia di laman http://dewipurnawati1.weebly.com/4/post/2011/05/teori-belajar-john-dewey.html. Di akses pada tanggal 27 September 2014.



[1] Ireine V. Potoh, Pendidikan Dasar Berbasis Pengalaman, Indonesia Publishing, 2009. Hlm. iii
[2] dewipurnawati1.weebly.com/4/post/2011/05/teori-belajar-john-dewey.html

[3] yusrin-orbyt.blogspot.com/2012/06/teori-belajar-john-dewey.html

[4] justwearenoegayya.blogspot.com/2012/05/teori-pembelajaran-john-dewey.html
[5] Ibid
[6] anwarholil.blogspot.com/2008/04/metode-pengajaran-john-dewey.html

0 comments:

Post a Comment

Love is...
© Rima Putri's Blog - Template by Blogger Sablonlari - Font by Fontspace