DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan
dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan
pendidikan yang diinginkan. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format
pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.
Belajar
merupakan suatu usaha sadar yang bertujuan untuk merubah sikap seseorang.
Mengingat gaya belajar siswa yang berbeda-beda sehingga banyak tokoh-tokoh
pendidik yang membahas mengenai teori-teori pembelajaran, seperti teori belajar
Jean Peaget, teori belajar Gestalt dan masih banyak lagi.
John
Dewey merupakan salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan
tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan
peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif akan
membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas
yang ada di lingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan
antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa konsep dasar pemikiran pendidikan
John Dewey?
2.
Bagaimana konsep belajar dan teori pembelajaran
kognitif John Dewey?
3.
Bagaimana tahapan perkembangan moral
peserta didik?
4.
Apa metode pengajaran John Dewey?
5.
Bagaimana aplikasi teori kognitif John
Dewey?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui konsep dasar pemikiran
pendidikan John Dewey.
2.
Untuk mengetahui konsep belajar dan
teori pembelajaran kognitif John Dewey.
3.
Untu mengetahui tahapan perkembangan
moral peserta didik.
4.
Untuk mengetahui metode pengajaran John
Dewey.
5.
Untuk mengetahui aplikasi teori kognitif
John Dewey.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi John Dewey
John Dewey adalah seorang filsuf,
teoritikus, dan reformator pendidikan, serta kritikus sosial yang sangat
memengaruhi masyarakat Amerika Serikat di awal dan pertengahan abad XX. Bersama
Charles Sanders Peirce dan William James, ia menjadi jurubicara utama filsafat
khas Amerika, Pragmatisme, dan ia adalah pemimpin gerakan pendidikan progresif.
John Dewey lahir 20 Oktober 1859 di
Burlington, Vermont. Ia anak ketiga dari empat bersaudara buah hati pasangan
Artchibald Dewey dan Lucina Rich. Setelah menyelesaikan pendidikan persiapan di
sekolah negeri Burlington, ia masuk ke Universitas Vermont pada tahun 1875,
tetapi baru pada tahun keempat ia menemukan minat khusus intelektualnya. Pada
tahun 1882, ia mengikuti program pasca sarjana di Universitas John Hopkins yang
pada waktu itu baru didirikan.
Pada tahun 1886 Dewey menikahi mantan
muridnya, Harriet Chipman, dan mereka dikaruniai enam orang anak. Istrinya
sangat berminat pada pandidikan dan masalah-masalah social, dan hal ini
memengaruhi Dewey.
Dewey mengawali karya besarnya dalam
teori dan praktik pendidikan di Universitas Chicago, saat ia menjabat kepala
departemen filsafat, psikologi, dan pedagogi pada tahun 1894. Saat di Chicago
inilah Dewey menjadi terkenal dalam dunia pendidikan.
Pada tahun 1904, karena pertentangannya
dengan rector mengenai pengelolaan dan pembiayaan departemen pendidikan, Dewey
meninggalkan Chicago dan menjadi professor filsafat di Universitas Culumbia,
New York.
Istri Dewey meninggal dunia setelah 41
tahun pernikahan mereka dan selama 19 tahun berikutnya Dewey tinggal
berpindah-pindah dari satu anak ke anak yang lain. Lalu pada usia 87 Dewey
menikah lagi dengan Roberta Lowitz Grant, yang berusia 42 tahun. Tak lama
setelah menikah mereka mengadopsi dua anak Belgia yang menjadi yatim-piatu
akibat perang.
Dewey dikaruniai kesehatan yang baik
sampai ia berusia 80 tahun. Pada November 1951 tulang pinggulnya patah dan
gagal disambung kembali dengan baik. Pada 1 Juni 1952, Dewey meninggal akibat
pneumonia.[1]
B. Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan John Dewey
Pola
pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme
yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experiencee),
pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi (transaction)
memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai
teori umum pendidikan. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama
lain; dimana tanpa filosofi, pendidikan kering akan arahan inteligensi.
Democracy and Education, Dewey, 1961 dalam (Dewi Purnawati, 2011)
mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun secara intelegensia terhadap
pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan
pengalaman. Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran di atas dapat diartikan
bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam transaksi
yakni dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun berbagai bentuk
organisme lain.[2]
Garis
besar pemikiran pendidikan yang selalu dikaitkan dengan Dewey dan telah banyak
memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan perlu digarisbawahi di
sini. Menurut Garforth, 1966 dalam (Yusrin Orbyt 2012) terdapat tiga pengaruh
pemikiran Dewey dalam pendidikan yang dirasakan sangat kuat hingga saat ini. Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru
tentang kesosialan pendidikan, di sini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki
fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan
selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Kedua, Dewey memberikan bentuk dan
substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak (child-centredness).
Bahwa konsep pendidikan adalah berpusat pada anak, telah sejak lama
dilontarkan, bahkan oleh Aristoteles. Dalam hal ini Dewey mendasarkan konsep
keberpusatan pada anak pada landasan-landasan filosofis, sehingga lebih kuat
jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Ketiga,
Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang
Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas.
Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat
pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan kerangka teoritik dan
berbasis eksperimen.[3]
C. Konsep Belajar dan Teori Pembelajaran Kognitif John Dewey
Sugihartono
dkk, 2007: 105 mengetakan bahwa setiap orang telah mempunyai pengalaman dan
pengetahuan di dalam dirinya serta pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam
bentuk struktur kognitif (Just Weare Noegayya, 2012). Pengalaman dan
pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya
akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Pada tahap
selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang telah tersusun secara kognitif
tersebut akan bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah bagi siswa.
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa. Menurut Sugihartono dkk,
2007 dalam (Just Weare Noegayya, 2012) proses belajar akan berjalan dengan baik
bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara tepat dan
serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa. Dari pengertian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa proses belajar harus dilakukan secara
terus-menerus agar berjalan dengan baik. proses belajar yang
berkesinambungan akan lebih memiliki manfaat bagi siswa seperti siswa akan
lebih banyak memiliki alternatif pemecahan masalah sehingga masalah yang
dihadapi akan terselesaikan dengan cara yang efisien.
Teori
pembelajaran kognitif dapat dibagi menjadi dua aliran yakni teori gestalt dan
konstruktivistik. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya, 2012) dalam
kutipannya menjelaskan konsep penting dalam psikologi gestalt adalah insight
yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian
di dalam suatu situasi permasalahan. Pengamatan atau pemahaman yang secara
mendadak tersebut sering diartikan sebagai ide atau gagasan yang secara tidak
sengaja muncul di dalam memori kita. Meskipun mendadak pengamatan atau
pemahaman tersebut didapat terlebih dahulu melalui proses berpikir. Hal semacam
ini bersifat insidental.
Sugihartono
dkk, 2007 dalam (Just Weare Noegayya, 2012) menjelaskan perbedaan antara teori
gestalt dengan konstruktivistik terletak pada permasalahan yakni pada gestalt
permasalahan yang dimunculkan berasal dari pancingan eksternal sedangkan pada
konstruktivistik permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan yang
direkonstruksi oleh siswa sendiri. Penjelasan dari teori konstruktivistik
tersebut adalah permasalahan yang muncul dari dalam diri siswa itu sendiri atau
dapat dikatakan sebagai faktor internal. Faktor internal tersebut yang akhirnya
memunculkan suatu permasalahan. Teori konstruktivistik dipelopori oleh seorang
psikolog asal Amerika Serikat yakni John Dewey.
John
Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa
sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah
atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just
Weare Noegayya 2012). Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman dan
minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal
ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktif dan mampu mencari pemecahan
masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar
pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal.
John
Dewey dalam bukunya Democracy and Education (Dwi Siswoyo dkk, 2011 dalam
Just Weare Noegayya, 2012), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi
pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk
mengarahkan pengalaman selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam
teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari
rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa
dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi
dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki. Selain itu
dari teori kognitif yang menegaskan pengalaman sebagai landasan pembelajaran
juga sangat relevan.[4]
D. Tahapan Perkembangan Moral Peserta Didik
John
Dewey tidak hanya mengembangkan teori konstruktivistik yang terangkum dalam
teori kognitif tetapi juga mengembangkan teori perkembangan moral peserta
didik. John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu
tahap premoral atau preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous
(Dwi Siswoyo dkk, 2011 dalam Just Wear Enoegayya, 2012). Selanjutnya John Dewey
(Dwi Siswoyo dkk, 2011 dalam Just Wear Enoegayya, 2012) menjelaskan beberapa
tahapan yang dikemukakan, yaitu:
1. Tahap premoral. Tingkah laku seseorang
didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau
sosial.
2. Tahap convention. Seseorang mulai bisa
menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan
kepada kriteria kelompoknya.
3.
Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai
bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan
akal pikiran dan pertimbangan
dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.[5]
Teori
perkembangan moral peserta didik sangat berhubungan dengan teori pembelajaran
kognitif. Hal ini dapat dilihat dalam teori perkembangan moral peserta didik,
seseorang mengalami beberapa tahap dalam bertingkah laku di lingkungan sosial
atau kelompoknya dan hal ini akan membawa pengalaman dan memberi pengetahuan
pada siswa tersebut. Teori kognitif pada dasarnya membahas faktor-faktor
kognisi yang berhubungan dengan jiwa atau kondisi psikologi seseorang. Definisi
dari kognisi yaitu suatu proses atau upaya manusia dalam mengenal berbagai
macam stimulus atau informasi yang masuk ke dalam alat inderanya, menyimpan,
menghubung-hubungkan, menganalisis, dan memecahkan suatu masalah berdasar stimulus
atau informasi tersebut. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012).
Pengertian
tersebut mengandung arti bahwa gejala kognisi sering dikaitkan dengan proses
belajar seseorang yang didapat dari pengamatan termasuk pengalaman dan melalui
alat indera hingga pada akhirnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah.
Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012) menjelaskan yang
termasuk gejala pengenalan adalah penginderaan dan persepsi, asosiasi, memori,
berpikir, dan intelegensi. Salah satu faktor-faktor kognitif yang paling
berpengaruh terhadap proses pembelajaran seseorang adalah berpikir.
Salah
satu bentuk berpikir adalah reasoning. Reasoning adalah bentuk berpikir
di mana kemungkinan-kemungkinan pemecahan ditimbang-timbang secara simbolis.
Dimyati, 1990 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012). Menurut John Dewey, Reasoning
itu adalah serangkaian langkah yang berurutan dan langkah-langkah itu antara
lain (Dimyati, 1990 dalam Just Wear Enoegayya, 2012):
1. Maladjusment. Orang yang dimotovir
menghadapi suatu rintangan (menghadapi problem).
2. Diagnosis. Orang itu melokalisir sumber
problimnya dan mempertimbangkan strukturnya.
Langkah ini menyangkut kemampuan
analisis untuk mengabstraksi dan membentuk konsep.
3. Hipotesis. Orang itu membuat satu atau
lebih dugaan. Langkah ini menyangkut imajinasi
kreatif.
4.
Deduksi. Orang itu berusaha menentukan
bahwa dugaannya itu akan benar. Langkah ini
menyangkut logika dan pengalaman.
5. Verifikasi. Orang itu mengecek langkah
keempat dengan fakta-fakta yang ada. Langkah ini
menyangkut sampling dan
eksperimen.
E. Metode Pengajaran John Dewey
Menurut John Dewey dalam
(Anwar Holil, 2008) metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu
proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah
kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah.
1.
Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar
diri siswa itu sendiri.
2.
Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa
kesulitannya dan menentukan masalah
yang dihadapinya.
3.
Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya
itu atau satu sama lain, dan
mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan
masalah tersebut. Dalam bertindak
ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
4.
Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau
hipotesis dengan akibatnya masing-
masing.
5.
Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu
kemungkinan pemecahan yang
dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya
pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat,
maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemuka pemecahan masalah
yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk
hidup.[6]
Namun langkah-langkah ini
tidak dipandang secara kaku dan mekanistis, artinya tidak mutlak harus
mengikuti urutan seperti itu. Siswa bisa bergerak bolak-balik, antara masalah
dan hipotesis ke arah pembuktian, ke arah kesimpulan dalam batas-batas aturan
yang bervariasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan instruksional
ini mirip dengan suatu penelitian ilmiah di mana suatu hipotesis dapat diuji
dan dirumuskan. Selanjutnya Dewey menganjurkan agar bentuk isi pelajaran
hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran.
Dengan demikian jelas betapa pentingnya makna bekerja, karena bekerja
memberikan pengalaman dan pengalaman memimpin orang berpikir sehingga dapat
bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman itu mempengaruhi budi pekerti. Ada
pengalaman positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman yang positf adalah
pengalaman yang benar, sebab faedahnya dapat diterapkan di dalam kehidupan.
Sebaliknya, pengalaman negatif adalah pengalaman yang salah, merugikan atau
menghambat kehidupan dan tak perlu dipakai lagi.
F. Aplikasi Teori Kognitif Jon Dewey Pada Pembelajaran Siswa
Teori
kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada
pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa
dalam berpikir untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah
dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat. Hal ini tentunya akan
melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah. Proses
pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada
perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa.
Sugihartono
dkk, 2007 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012) menjelaskan misi dari pemerolehan
pengetahuan melalui strategi pembelajaran kognitif adalah kemampuan memperoleh,
menganalisis, dan mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan
masalah. Dalam hal ini siswa dituntut untuk menjalani proses pembelajaran yang
bersifat intensif agar siswa memiliki kemampuan untuk memperoleh informasi
hingga memperoleh kemampuan memecahkan masalah. Berdasarkan pandangan kognitif
tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan proses
aktif dari pembelajar untuk membangun pengetahuannya (Sugihartono dkk, 2007
dalam Just Wear Enoegayya, 2012).
Teori
kognitif merupakan landasan pokok bagi pembelajaran siswa karena teori ini
mengutamakan kemampuan siswa secara verbal. Tujuan pendidikan menurut teori
belajar kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007 dalam Just Wear Enoegayya, 2012):
1.
Menghasilkan individu atau anak yang
memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan
setiap persoalan yang dihadapi.
2.
Kurikulum dirancang sedemikian rupa
sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat
direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memecahkan masalah
seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis
masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
3.
Peserta didik diharapkan selalu aktif
dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru berfungsi
sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi
kondusif
untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dari
penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah
pada kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau
menyampaikan materi pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa
menjadi lebih berkembang sehingga kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa
tersebut menjadi lebih baik. Salah satu metode pembelajaran kognitif yang
paling tepat untuk diaplikasikan pada pembelajaran siswa adalah model CBSA atau
cara belajar siswa aktif. Cara ini dianggap paling efektiv untuk
pengembangan kognisi siswa.
Dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler 1996:20 mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran (Sugiharto dkk,
2007 dalam Just Wear Enoegayya, 2012), sebagai berikut:
1.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
2.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk
berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif
3.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru
4.
Memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
5.
Mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka
6.
Menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.
Beberapa
contoh untuk pembelajaran kognitif antara lain pembelajaran melalui penelitian
ilmiah dan hasil penelitian tersebut didiskusikan di dalam forum diskusi.
Manfaat lain dari kegiatan diskusi ilmiah tersebut adalah melatih siswa berpikir
objekif yang secara tidak langsung berhubungan dengan gejala kognitif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Tiga pengaruh pemikiran Dewey dalam
pendidikan yang dirasakan sangat kuat hingga saat ini. Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan
pendidikan. Kedua, Dewey memberikan
bentuk dan substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak
(child-centredness). Ketiga, Proyek
dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang Pengalaman
telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas.
2.
John Dewey mengemukakan bahwa belajar
tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum
seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu
sama lain.
3.
John Dewey membagi perkembangan moral
anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau preconventional, tahap
conventional, dan tahap autonomous.
4.
Teori kognitif John Dewey dapat
diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada pembelajaran kognitif.
DAFTAR PUSTAKA
Holil,
Anwar. (2008). Metode Pengajaran John
Dewey. Tersedia di laman http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/metode-pengajaran-john-dewey.html. Di akses pada tanggal 27 September
2014.
Noergayya,
Just Wear. (2012). Teori Belajar John
Dewey. Tersedia di laman http://justwearenoegayya.blogspot.com/2012/05/teori-pembelajaran-john-dewey.html.
Di akses pada tanggal 27 September 2014.
Orbyt,
Yusrin. (2012). Teori Belajar John Dewey.
Tersedia di laman http://yusrin-orbyt.blogspot.com/2012/06/teori-belajar-john-dewey.html.
Di akses pada tanggal 6 Oktober 2014.
Potoh, Ireine. V. 2009. Pendidikan Dasar Berbasis Pengalaman.
2009.
Purnawati,
Dewi. (2011). Teori Belajar John Dewey.Tersedia
di laman http://dewipurnawati1.weebly.com/4/post/2011/05/teori-belajar-john-dewey.html. Di akses
pada tanggal 27 September 2014.
[1] Ireine V. Potoh, Pendidikan Dasar Berbasis Pengalaman,
Indonesia Publishing, 2009. Hlm. iii
[2] dewipurnawati1.weebly.com/4/post/2011/05/teori-belajar-john-dewey.html
[3] yusrin-orbyt.blogspot.com/2012/06/teori-belajar-john-dewey.html
[4]
justwearenoegayya.blogspot.com/2012/05/teori-pembelajaran-john-dewey.html
[5]
Ibid
[6] anwarholil.blogspot.com/2008/04/metode-pengajaran-john-dewey.html
0 comments:
Post a Comment